Indonesia

Suatu hari Jaka Berek baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Hatinya marah, penasaran bukan kepalang. Sesampainya di rumah Jaka Berek segera menjumpai ibunya. Saat itu ibunya tengah berkumpul dengan kakek dan neneknya. “Ibu, aku tak tahan lagi,?” ujar Jaka Berek. “Ada apa, anakku? Kenapa wajahmu cemberut begitu” tanya ibu Jaka Berek, Dewi Sangkrah. “Biyung harus menjelaskan, siapa sebenarnya ayahku? Kalau sudah mati, di mana kuburnya biar aku mengirim doa di pusaranya, dan jika masih hidup, sudilah ibu menunjukkan tempatnya padaku!” rengek Jaka Berek kepada ibunya. Hati Dewi Sangkrah berdebar. Ibu Jaka Berek sudah menduga hal ini akan terjadi. Suatu saat setelah dewasa, Jaka Berek anaknya pasti akan menanyakan siapa ayahnya. Dia harus menjawabnya dengan gamblang. Cerita rakyat Jawa Timur ini masih berlanjut dengan percakapan Jaka Berek dan ibunya. “Anakku Jaka Berek, karena kamu sudah dewasa, sudah sepatutnya kamu bertanya tentang ayahmu. Ketahuilah anakku, ayahmu adalah seorang Adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Adipati Jayengrana. Bila kamu ingin bertemu dengannya, datanglah ke sana.” Kisah legenda Sawunggaling Jaka Berek segera mencari tahu asal-usul dirinya. Dengan berbekal seadanya, Jaka Berek berangkat ke Kadipaten Surabaya untuk menjumpai ayahnya. Ketika hendak memasuki pintu gapura kadipaten, Jaka Berek dicegat oleh seorang prajurit yang sedang berjaga. “Berhenti kamu!” teriak prajurit itu. “Mau apa kamu berani datang ke kadipaten ini?” “Saya ingin bertemu dengan sang Adipati!” kata Jaka Berek dengan lugu wajahnya polos sebagaimana kebanyakan pemuda desa. “Anak muda ketahuilah aku adalah prajurit yang sedang berjaga. Kamu tidak boleh masuk ke kadipaten. Kamu harus pergi dari sini sebelum kuusir!” bentak prajurit itu. “Aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Adipati Surabaya yang bernama Adipati Jayengrana,” jawab Jaka Berek. Prajurit penjaga pintu gapura itu jengkel melihat Jaka Berek yang tak mau pergi dari kadipaten. Maka dia segera menyerang Jaka Berek agar Jaka Berek pergi. Tetapi Jaka Berek bukannya pergi, malah melawan dengan berani. Untunglah perkelahian itu diketahui oleh dua orang putra Adipati Jayengrana yang bernama Sawungsari dan Sawunggrana. Oleh mereka perkelahian itu dilerai. Prajurit yang berkelahi dengan Jaka Berek segera ditanya. “Maaf, Pangeran, pemuda ini hendak memaksa masuk kadipaten. Saya halang-halangi, tetapi dia malah menawan”, lapor prajurit itu. Mendengar laporan dari prajuritnya, kedua anak Adipati Jayengrana itu pun segera bertanya pada Jaka Berek. “Maaf, siapakah Saudara dan ada keperluan apa hendak memaksa masuk ke kadipaten?” tanya Sawungrana. “Aku hendak menghadap Adipati Jayengrana. Ada yang ingin kusampaikan kepada Beliau.” “Tak ada orang luar yang boleh menemui ayahku. Sebaiknya kamu pulang saja atau aku yang memaksamu pulang?” kata Sawungsari. “Aku tetap pada pendirianku, mau menemui Adipati Jayengrana!” tegas Jaka Berek. Melihat kenekatan Jaka Berek, kedua putra Adipati Jayengrana itu pun segera mengeroyok Jaka Berek. Dengan tangkas, Jaka Berek melayani Sawungrana dan Sawungsari. Belum lama perkelahian itu berlangsung, Adipati Jayengrana melihatnya. Adipati Surabaya itu pun segera menghampiri mereka yang sedang berkelahi. “Hei hentikan perkelahian ini!” teriaknya. Setelah perkelahian berhenti, Adipati Jayengrana segera menanyakan hal ihwal terjadinya perkelahian itu. Kedua putranya menjelaskan secara terperinci. “Kamu yang bernama Jaka Berek yang mau menemuiku. Sekarang katakan apa perlumu?” tanya Adipati. “Hamba hanya ingin mencari ayah hamba yang menjadi Adipati di sini, namanya Adipati Jayengrana. Kalau memang tuan orangnya, tentu tuanlah ayah hamba!” kata Jaka Berek. “Nanti dulu. Siapa nama ibumu, dan apa buktinya kalau kamu anakku?” tanya Adipati. “Hamba adalah putra dari Biyung Dewi Sangkrah. Sebagai bukti bahwa hamba memang anak Dewi Sangkrah, ibu memberi hamba sebuah selendang Cinde Puspita ini!” jawab Jaka Berek. Jaka Berek mengeluarkan Selendang Cinde Puspita dari bungkusan yang dibawanya. Ternyata benar selendang itu adalah Selendang Cinde Puspita yang dulu oleh Adipati Jayengrana diberikan kepada Dewi Sangkrah yang dicintainya. “Kalau begitu kamu memang anakku!” kata Adipati dengan rasa haru. Adipati Jayengrana memeluk Jaka Berek. Demikian pula Jaka Berek, dia memeluk erat ayahnya yang telah lama tak dijumpainya. Kemudian Jaka Berek diperkenalkan pada saudaranya, Sawungrana dan Sawungsari. Jaka Berek disuruh tinggal di kadipaten dan namanya diubah menjadi Sawunggaling. Demikian asal-usul nama Jaka Berek yang berubah menjadi Sawunggaling. Sawunggaling tinggal di kadipaten Surabaya bersama ayahnya yang merupakan seorang Adipati. Cerita dongeng Sawunggaling Kisah dongeng Sawunggaling berlanjut. Pada suatu hari kadipaten Surabaya kedatangan kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan adipati di Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerja sama dengan kompeni Belanda. Tetapi pada saat itu ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara sodoran. Sodoran adalah perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjatakan tombak dengan memanah umbul-umbul yang bernama Umbul-Umbul Tunggul Yuda. Adipati Jayengrana yang sudah dipecat itu pun menyuruh kedua anaknya agar giat berlatih untuk mengikuti sayembara itu. Pemenang dari sayembara itu akan diangkat menjadi adipati di Surabaya. Pada hari sayembara diadakan tanpa memberitahu Sawunggaling, Jayengrana dan kedua putranya pergi ke Kartasura. Tanpa sepengetahuan mereka diam-diam Sawunggaling juga pergi ke Kartasura. Sebelum berangkat Sawunggaling pulang ke desa meminta doa restu dari ibu, kakek dan neneknya. Sayembara memanah umbul-umbul itu ternyata hanya diikuti oleh Sawungrana dan Sawungsari. Tetapi keduanya gagal, tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di antara Menara Galah. Karena tak ada pemenangnya, Sosro Adiningrat yang bertindak sebagai panitia pelaksana lomba, segera mengadakan pendaftaran lagi. Pada saat itu muncul pemuda yang mengacungkan tangannya. Ternyata dia adalah Sawunggaling. Sawunggaling inilah yang dengan tepat dapat menjatuhkan Umbul-Umbul Tunggul Yuda. Dengan kemenangan itu, selain diangkat sebagai Adipati di Surabaya, Sawunggaling pun mendapat hadiah dari putri Amangkurat Agung di Kartasura yang bernama Nini Sekar Kedaton. Keberhasilan Sawunggaling itu telah menimbulkan keirian dari dua saudaranya, yaitu Sawungrana dan Sawungsari. Keduanya ingin mencelakakan Sawunggaling. Pada waktu pesta besar-besaran untuk merayakan pengangkatan Sawunggaling sebagai adipati di Surabaya, secara diam-diam Sawungrana dan Sawungsari memasukkan bubuk racun ke dalam gelas air minuman Sawunggaling. Namun perbuatan itu diketahui oleh Adipati Cakraningrat dari Madura. Ketika minuman yang ada racunnya itu disodorkan ke Sawunggaling, Adipati Cakraningrat pura-pura menubruk Sawungrana yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi minuman yang telah diberi racun. Melihat hal itu, Sawungrana sangat marah. “Dinda Sawunggaling, lihatlah ulah adipati dari Madura itu. Dia tidak menghormatimu karena minuman yang kusodorkan kepadamu dijatuhkannya. Ini penghinaan!” kata Sawungrana. Mendidih darah Sawunggaling karena dihina oleh Adipati Cakraningrat. Dengan cepat disambarnya tangan Adipati Cakraningrat dan ditariknya keluar dari kadipaten. “Mengapa Paman Adipati Cakraningrat menghina diriku di hadapan para tamu. Apakah Paman akan menantangku berkelahi?” tanya Sawunggaling. “Tenang, Anakku, ketahuilah bahwa minuman yang hendak kau minum tadi sebenarnya telah diberi racun oleh Sawungrana. Aku melihatnya. Oleh karena itu aku segera bertindak menyelamatkan nyavvamu!” ucap Cakraningrat dengan tenang. Sawunggaling merasa menyesal karena telah tergesa-gesa menuduh Adipati Cakraningrat yang bukan-bukan. “Dan semua itu memang telah direncanakan oleh para kompeni Belanda busuk itu, Anakku. Kedua kakakmu telah bergabung dengan para kompeni Belanda karena menginginkan kedudukan sebagai Adipati di Surabaya!” jelas Adipati Cakraningrat. “Oh, Paman…” Sawunggaling merasa menyesal. “Maafkan kecerobohanku.” Sejak itu Sawunggaling membenci kompeni Belanda. Dengan hati bulat dia bertekad memerangi Belanda. Dia selalu menambah kekuatan laskarnya untuk mengusir Belanda. Pertempuran berkobar di seluruh daerah Surabaya. Dalam suatu peperangan yang sengit Sawunggaling berhasil membunuh Jenderal De Boor. Akhirnya karena menderita sakit parah, Sawunggaling meninggal dunia di daerah Kupang dan dimakamkan di daerah Lidah Wetan, Surabaya.

Jawa

Ing sawijining dina Jaka Berek nembe mulih saka dolanan karo kanca-kancane. Atine nesu, penasaran sing ora bisa diukur. Tekan omahe Jaka Berek, dheweke langsung nemoni ibune. Nalika semana ibune lagi kumpul karo simbah. “Bu, kula sampun boten tahan, ta?” jare Jaka Berek. “Ana apa, anakku? Kok raine mumet kaya ngono?” pitakone ibune Jaka Berek, Dewi Sangkrah. “Biyung kudu nerangake, sapa sejatine bapakku? Manawi sampun tilar donya, pundi makamipun, mugi kula atur pandonga wonten ing pasareanipun, lan manawi taksih sugeng, punapa Paduka paringaken papan panggenanipun!” Jaka Berek rengek marang ibune. Atine Dewi Sangkrah deg-degan. Ibune Jaka Berek wis ngarepake kedadeyan iki. Sawijining dina yen wis gedhe, anake Jaka Berek mesthi takon sapa bapake. Dheweke kudu mangsuli kanthi jelas. Cerita rakyat Jawa Timur iki isih diterusake kanthi pacelathon antarane Jaka Berek lan ibune. “Anakku Jaka Berek, yen kowe wis diwasa, kowe kudu takon marang bapakmu. Ngerti anakku, bapakmu iku Adipati ing Kadipaten Surabaya. Asmanipun Adipati Jayengrana. Yen sampeyan pengin ketemu dheweke, teka mrana." Cariyos legenda Sawunggaling Jaka Berek langsung ngerti asale saka ngendi. Kanthi gamblang, Jaka Berek tindak menyang Kadipaten Surabaya nemoni bapake.Nalika arep mlebu gapura kadipaten, Jaka Berek dicegat dening prajurit sing jaga. "Sampun!" bengok prajurite. “Kowe arep wani apa teka ing kadipaten iki?” "Aku pengin ketemu Adipati!" ujare Jaka Berek kanthi praupan lugu kaya umume para pemuda desa. "Wong enom, ngerti yen aku iki prajurit sing njaga. Sampeyan ora bisa mlebu kadipaten. Kowe kudu metu saka kene sadurunge aku ngusir kowe!” bentak prajurit. “Aku ora arep lunga nganti ketemu karo Adipati Surabaya sing jenenge Adipati Jayengrana,” ujare Jaka Berek. Prajurit sing njaga gapura jengkel weruh Jaka Berek sing ora gelem metu saka kadipaten. Mula dheweke langsung nyerang Jaka Berek supaya Jaka Berek lunga. Nanging Jaka Berek tinimbang budhal, malah tarung kanthi gagah prakosa. Untunge tawuran mau dikenal dening putrane Adipati Jayengrana loro, jenenge Sawungsari lan Sawunggrana. Dening wong-wong mau, perang kasebut bubar. Prajurit sing tarung karo Jaka Berek langsung ditakoni. “Nuwun sewu Pangeran, nom-noman menika badhe meksa mlebet kadipaten. Aku nyetop dheweke, nanging dheweke pancen nengsemake”, lapor prajurit kasebut. Krungu kabar saka prajurite, bocah loro Adipati Jayengrana banjur takon marang Jaka Berek.“Nyuwun pangapunten, panjenengan menika sinten saha prelu meksa mlebet kadipaten?” pitakone Sawungrana. “Aku arep ngadhep Adipati Jayengrana. Aku ana sing arep dikandhakake marang dheweke." “Ora ana wong njaba sing bisa ndeleng bapakku. Apa kowe kudu mulih utawa dakpeksa mulih?” Sawungsari ngandika. "Aku tetep karo pendirianku, aku arep ketemu karo Adipati Jayengrana!" jare Jaka Berek. Weruh Jaka Berek sing sembrono, putrane Adipati Jayengrana loro mau langsung genggem marang Jaka Berek. Cekatan, Jaka Berek ngladeni Sawungrana lan Sawungsari. Dèrèng dangu wontên paprangan, Adipati Jayèngrana ningali. Adipati Surabaya enggal-enggal marani wong-wong kang padha perang. "Hei stop perang iki!" bengok-bengok. Sawisé perang mandheg, Adipati Jayengrana enggal-enggal takon bab perang. Putrane loro njelasake kanthi rinci. “Lha kowe Jaka Berek sing arep ketemu aku. Saiki ngomong apa sing sampeyan butuhake?" pitakone Adipati. “Aku mung arep nggoleki bapakku sing dadi Adipati ing kene, jenenge Adipati Jayengrana. Yen pancen dadi bendarane wong, mesthi dadi bendarane bapakku!" jare Jaka Berek. “Enteni sedhela. Sapa asmane ibumu, lan apa buktine yen kowe iku anakku?” pitakone Adipati. “Abdi iku putrane Biyung Dewi Sangkrah.Minangka bukti yen aku pancen anake Dewi Sangkrah, ibu menehi selendang Cinde Puspita iki!” wangsulane Jaka Berek. Jaka Berek ngetokake selendange Cinde Puspita saka bungkusan sing digawa. Pancen selendang iku selendange Cinde Puspita, sing diparingake Adipati Jayengrana marang Dewi Sangkrah sing ditresnani. "Banjur kowe pancen anakku!" kandhane Adipati kanthi emosi. Adipati Jayengrana ngrangkul Jaka Berek. Semono uga Jaka Berek, ngrangkul bapake sing wis suwe ora ketemu. Banjur Jaka Berek ditepungake karo sedulure, Sawungrana lan Sawungsari. Jaka Berek didhawuhi manggon ing kadipaten lan jenenge diganti dadi Sawunggaling. Mangkono asal-usul jeneng Jaka Berek sing ganti dadi Sawunggaling. Sawunggaling manggon ing kadipaten Surabaya karo bapake sing dadi Adipati. Dongeng Sawunggaling Crita dongeng Sawunggaling diterusake. Ing sawijining dina Kadipaten Surabaya teka dening Kompeni Walanda sing dipimpin Kapten Knol sing nggawa layang saka Jendral De Boor sing isine yen jabatan Adipati ing Surabaya bakal dicabut amarga Adipati Jayengrana ora gelem kerja sama karo Kompeni Walanda. Nanging nalika iku ana wara-wara yen ing alun-alun Kartasura bakal ana lomba lelang. Sodoran yaiku perang perang prajurit berkuda sing bersenjata tumbak kanthi panah sing diarani Umbul-Umbul Tunggul Yuda.Adipati Jayengrana sing wis dipecat uga dhawuh marang anake loro supaya padha sregep melu sayembara. Sing juara sayembara bakal diangkat dadi adipati ing Surabaya. Ing dina sayembara tanpa kabar marang Sawunggaling, Jayengrana lan putrane loro menyang Kartasura. Tanpa diweruhi, Sawunggaling uga lunga menyang Kartasura. Sadurunge budhal, Sawunggaling bali menyang desa njaluk restu marang ibu, mbah kakung lan eyange. Lomba panahan umbul-umbul mung diterusake dening Sawungrana lan Sawungsari. Nanging loro-lorone gagal, ora bisa ngeculake spanduk Tustum Yuda sing dipasang ing antarane Menara Galah. Amarga ora ana juara, Sosro Adiningrat sing dadi panitia penyelenggara lomba langsung nganakake registrasi maneh. Ing wektu iku muncul wong enom sing ngangkat tangane. Pranyata iku Sawunggaling. Sawunggaling iku sing bener bisa nurunake spanduk Tumbul Yuda. Kanthi kamenangan punika, kajawi dipunangkat dados Adipati ing Surabaya, Sawunggaling ugi pikantuk kanugrahan saking putrinipun Amangkurat Agung ing Kartasura ingkang asma Nini Sekar Kedaton. Kasuksesane Sawunggaling njalari rasa iri marang sedulur loro, yaiku Sawungrana lan Sawungsari. Kekarone arep gawe cilaka Sawunggaling.Nalika ana pesta gedhe kanggo ngrayakake pengangkatan Sawunggaling dadi adipati ing Surabaya, Sawungrana lan Sawungsari meneng-menengan nglebokake bubuk racun ing gelas banyu ngombe Sawunggaling. Nanging, Adipati Cakraningrat ing Madura ngerti babagan tumindak kasebut. Nalika ombenan racun mau diujokake ing Sawunggaling, Adipati Cakraningrat ethok-ethok nggebug Sawungrana sing njalari gelas sing isine wedang racun mau tiba. Weruh iki Sawungrana nesu banget. “Dinda Sawunggaling, deleng tumindake Adipati Madura. Dheweke ora ngajeni sampeyan amarga dheweke ngeculake ngombe sing dakwenehake. Iki penghinaan!” Sawungrana ngandika. Getih Sawunggaling mrebes mili amarga dihina dening Adipati Cakraningrat. Dheweke cepet-cepet nyekel tangane Adipati Cakraningrat lan ditarik metu saka kadipaten. “Kok Paman Adipati Cakraningrat ngremehake aku ing ngarepe tamu. Kowe arep nantang aku tarung?” pitakone Sawunggaling. “Tenang, anakku, ngerti yen wedang sing arep diombe kuwi pancen wis diracun dening Sawungrana. Aku weruh. Mula aku langsung tumindak kanggo nylametake nyawamu!” ujare Cakraningrat kalem. Sawunggaling mesakake amarga kesusu nuduh Adipati Cakraningrat sing ora wajar. "Lan kabeh mau wis direncanakake dening perusahaan Walanda sing bosok, anakku.Adhimu kalih mèlu Kompeni Walandi amargi ngersakaken jabatan Adipati ing Surabaya!” piterange Adipati Cakraningrat. “Oh, Pakdhe...” Sawunggaling krasa getun. "Ampun kula ceroboh." Wiwit kuwi Sawunggaling sengit marang Kompeni Walanda. Kanthi ati sarujuk tekad nglawan Walanda. Dhèwèké tansah nambahi kekuwatané tentarané kanggo ngusir Walanda. Paprangan rame ing saindhenging tlatah Surabaya. Ing perang sengit, Sawunggaling kasil mateni Jendral De Boor. Pungkasane, amarga lara abot, Sawunggaling tilar donya ing tlatah Kupang lan disarekake ing tlatah Lidah Wetan, Surabaya.

Terjemahanbahasa.com | Bagaimana cara menggunakan penerjemah teks bahasa Indonesia-Jawa?

Dianggap bahwa pengguna yang mengunjungi situs web ini telah menerima Ketentuan Layanan dan Kebijakan Privasi. Di situs web (terjemahaninggris.com), pengunjung mana pun dapat memiliki bagian seperti forum, buku tamu, tempat mereka dapat menulis. Kami tidak bertanggung jawab atas konten yang ditulis oleh pengunjung. Namun, jika Anda melihat sesuatu yang tidak pantas, beri tahu kami. Kami akan melakukan yang terbaik dan kami akan memperbaikinya. Jika Anda melihat sesuatu yang salah, hubungi kami di →"Kontak" dan kami akan memperbaikinya. Kami dapat menambahkan lebih banyak konten dan kamus, atau kami dapat mencabut layanan tertentu tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pengunjung.


Kebijakan Privasi

Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. (Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi www.aboutads.info.)